30 Januari 2012

Keseimbangan Dunia Akhirat

"Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah SAW, telah bersabda, "Bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) orang yang meninggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain."

Hadist tersebut di atas menjelaskan tentang kehidupan manusia yang seharusnya, yaitu kehidupan yang berimbang, kehidupan dunia harus diperhatikan disamping kehidupan di akhirat. Islam tidak memandang baik terhadap orang yang hanya mengutamakan urusan dunia saja, tapi urusan akhirat dilupakan. Sebaliknya Islam juga tidak mengajarkan umat manusia untuk konsentrasi hanya pada urusan akhirat saja sehingga melupakan kehidupan dunia.

Salah satu di antara karakteristik agama Islam adalah tawazun (keseimbangan). Kehidupan dalam Islam sebagaimana disyariatkan Allah SWT dan Rasul Nya, merupakan kehidupan yang simbang dan selaras, dengan sisi-sisi kehidupan material. Ada sebuah riwayat, pada suatu hari salah seorang sahabat Rasulullah SAW lewat di sebuah lembah dengan mata air yang jernih dan segar. Lembah itu sangat mempesona, sehingga sahabat itu berfikir untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menghabiskan waktunya untuk beribadah di lembah tersebut. Ia menghadap dan memberitahukan maksudnya itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Jangan kamu lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah jauh lebih mulia dan lebih mulia daripada shalat yang engkau lakukan di lembah tersebut selama 70 tahun. Tidakkah kamu ingin agar Allah SWT mengampuni segala kesalahanmu dan memasukanmu ke dalam surga? Maka berjuanglah di jalan Allah”. Artinya hiduplah di tengah-tengah masyarakat dengan mempertahankan aqidah dan menyebarkannya kepada yang lain. Itulah makna ummatan wasatha (umat yang seimbang) antara hablum minallah dan hablum minan naas. Wasathon artinya juga pertengahan. Posisi pertengahan dalam arti tidak memihak ke kanan dan ke kiri. Dan ini akan mengantarkannya untuk berlaku adil. Posisi pertengah dalam pandangan Islam tentang hidup adalah bahwa di samping ada dunia ada juga akhirat. Keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialisme, tetapi juga tidak boleh terlalu larut dalam spiritualisme yang sangat tinggi sehingga melupakan dunia. Pandangan mengarah ke langit, namun kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai ukhrawi. (al Qashshash : 77).

Rasulullah SAW adalah contoh paling ideal bagi kehidupan yang berimbang. Islam tidak mengajarkan agar umatnya mengisolirkan diri dari kehidupan yang tujuannya untuk beribadah kepada Allah saja di tempat pertapaan, atau hanya berkutat di Biara seperti seorang pendeta. Bahkan Islam mengingkari orang-orang yang menciptakan kehidupan sendiri ala pendeta yang tidak berumah tangga atau menikah. Dalam sebuah riwayat, pernah ada tiga orang sahabat bertanya kepada kepada salah seorang isteri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Sahabat itu bertanya : “Bagaimana ibadahnya Rasulullah SAW”? Aisyah menjawab : “Bahwa ibadahnya Rasulullah SAW begini, begitu dan sebagainya. Setelah mendengan jawaban Aisyah, ketiga sahabat tersebut membandingkan dengan dirinya, bahwa ibadah diri mereka sungguh tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibadahnya Rasulullah SAW. Sementaa Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa Rasulullah yang terdahulu dan yang akan datang. Akhirnya salah seorang dari mereka ada yang mengatakan bahkan bersumpah, akan melakukan puasa terus menerus. Sedang orang kedua juga mengatakan akan shalat malah terus menerus. Sedang orang ketiga akan beribadah terus dan tidak akan kawin selamanya. Rasulullah SAW yang mendengar pernyataan ketiga sahabat tersebut, datang dan bersabda : “Sungguh aku adalah orang yang paling takut dan orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Tetapi aku berpuasa tetapi aku juga makan berbuka. Aku bangun malam untuk shalat, tetapi aku juga tidur. Dan akupun juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka mereka tidak termasuk golonganku”.

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah menasehati Abdullah bin Amr. Tatkala beliau mengetahui bahwa sahabatnya tersebut terus-menerus berpuasa, shalat malam, dan membaca Al-Qur’an. Sehingga ia melalaikan hak dirinya, hak isteri dan anaknya, dan hak-hak orang lain yang mengunjunginya. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat tersebut agar mengambil jalan tengah dalam masalah ini, seraya beliau bersabda : “Sesungguhnya dalam jasadmu mempunyai hak atas dirimu, yaitu untuk beristirahat. Demikian juga matamu mempunyai hak atas dirinya untuk tidur. Demikian pula isterimu juga mempunyai hak atas dirimu, untuk bercengkerama dan lain sebagainya. Demikian pula terhadap tamu-tamumu, mereka mempunyai hak atas dirinmu”.

Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan setelah mati, yakni akhirat (QS Al-An'am: 33). Sayangnya, banyak manusia yang lupa atau bahkan melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah (QS Adzdzariyat: 56).

Perkembangan zaman yang semakin maju tidak diiringi oleh peningkatan iman kepada-Nya. Geliat perekonomian yang semakin berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan mendewakannya. Our God is dollar, itulah sekiranya yang mereka pahami. Di lain sisi, terdapat sebagian kaum Muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.

Sesungguhnya, setiap Muslim hendaknya menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah SWT berfirman, "Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Alqashash: 77).

Ayat di atas merupakan nasihat Nabi Musa terhadap Qarun, seorang kaya raya pada zaman Nabi Musa. Allah telah memberinya harta yang berlimpah ruah sehingga dibutuhkan beberapa orang kuat untuk mengangkat kunci-kunci gudang hartanya (QS Alqashash: 76). Namun, kekayaannya itu malah menjauhkan dirinya dari Allah. Ia sombong seraya menyatakan bahwa kekayaannya tersebut merupakan hasil kepandaiannya. Ia menyangka bahwa Allah memberinya segala kekayaan tersebut karena Allah mengetahui bahwa dia adalah pemilik harta tersebut (QS Alqashash: 78).

Nasihat di atas berseru kepada umat manusia untuk mencari kehidupan akhirat (surga) dengan menggunakan segala nikmat yang Allah berikan, baik berupa harta, waktu luang, masa muda, kesehatan, maupun umur yang panjang. Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga. bnu Umar mengungkapkan, "Bekerja keraslah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok hari." Wallahu a'lam.

Dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Share