Di antara kandungan hadits Arba’in Nawawiyyah yang ke-27 ini adalah penjelasan Rasulullah SAW bahwa seorang sahabatnya, Wabishah bin Ma’bad RA, diperintahkan beliau SAW untuk berfatwa kepada hatinya, yaitu mengikuti “suara” hatinya tersebut dan meninggalkan fatwa-fatwa yang diberikan oleh orang lain. Dan bahwasanya “suara” hatinya itu merupakan tolok ukur baginya untuk menilai apakah sesuatu itu merupakan kebajikan atau merupakan dosa.
Jika hatinya merasa tenang, nyaman, tenteram dan mantap, tidak ada keraguan, tidak ada ganjalan dan tidak ada kekhawatiran atau ketakutan bila terlihat oleh orang lain, maka hal itu merupakan kebajikan. Sementara, jika terjadi sebaliknya, maka itu pertanda bahwa perkara yang akan dia lakukan itu adalah dosa.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW: Dan dari Wabishah bin Ma'bad RA, ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.” (Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
Tiga Macam Hati
Hadits Wabishah bin Ma’bad RA secara lahiriah dipahami bahwa fatwa “suara” hati lebih dikedepankan daripada fatwa mufti. Lantas, perlu diketahui pula bahwa berdasarkan kajian terhadap Al Qur’an ataupun hadits Rasulullah SAW, dapat disimpulkan ada tiga macam hati, yaitu:
1. Al-Qalbu Al-Salim (hati yang sehat)
Secara harfiyah (lateral) istilah qalbun salim disebut dua kali dalam Al Qur’an, dan keduanya terkait dengan cerita Nabi Ibrahim AS, yaitu pada QS Asy Syu’ara (26): 89 dan QS Ash Shaffat (37): 84.
Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikannya sebagai berikut, “Yaitu hati yang selamat dari segala syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah SWT, yang selamat dari segala bentuk syubhat yang menjadikannya menentang segala berita dan informasi yang datang dari Allah SWT, sehingga hati tersebut selamat dari penghambaan kepada selain Allah SWT, juga selamat dari bertahkim kepada selain Rasulullah SAW.”
Masih menurut Ibnu Qayyim, “Secara global, hati yang salim yang shahih adalah hati yang selamat dari segala bentuk penyekutuan (syirik) dalam bentuk apa pun kepada selain Allah SWT serta tulus murni semata-mata menghambakan diri kepada Allah SWT, baik dalam hal kehendak, tawakal, cinta, kembali, tunduk, khusyu, takut dan harap.”
Hati yang seperti ini disebutkan Rasulullah SAW sebagai hati yang putih, bersih, bening nan jernih. Sebentuk hati yang jika berhadapan dengan fitnah, ujian, cobaan dan godaan apa pun baik fitnah yang berupa ancaman, siksaan, penderitaan dan semacamnya, maupun fitnah dalam bentuk godaan, iming-iming, harta, wanita dan tahta ia tidak akan bergeming, tergoda maupun goyah atau limbung. Ia tetap dalam keimanan, keislaman dan keistiqamahannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Berbagai macam fitnah akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, anyamannya satu satu. Maka, hati yang menyerap fitnah itu akan ternoda hitam dan hati yang menolak fitnah itu akan ditambah sinar kecemerlangannya. Sehingga jadilah hati itu dua macam; ada yang putih seperti batu pualam yang tidak ternoda oleh fitnah apa pun selama masih ada langit dan bumi. Sedangkan lainnya adalah hati yang hitam legam, mirip teko yang tertelungkup, yang tidak lagi mengenal yang ma’ruf dan tidak lagi mengingkari yang munkar selain yang sesuai dengan hawa nafsunya” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, hadits no. 207).
2. Al-Qalbu Al-Qasi (hati yang keras atau mati)
Maksudnya adalah hati yang keras atau mengeras. Istilahnya dalam Al Qur’an qasat qulubuhum, sebagaimana terdapat dalam QS Al An’am (6): 43, atau QS Al-Hadid (57): 16. Hati yang seperti ini juga disebut oleh Al Qur’an sebagai Al Qalbu Al Mayyit (hati yang mati), sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al An’am: 122.
Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikannya, “Hati yang menghambakan diri kepada selain Allah SWT, baik dari sisi cinta, takut, harap, ridha dan benci; jika ia membenci sesuatu, ia membencinya karena hawa nafsunya, jika ia mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa nafsunya, jika ia memberikan sesuatu karena hal itu sesuai dengan hawa nafsunya, jika ia menahan sesuatu dan tidak memberikannya, hal itu ia lakukan karena hawa nafsunya.”
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Jadi, hawa nafsu adalah imamnya, dan syahwat adalah komandannya, kebodohan merupakan sopirnya, dan ghaflah (lalai dari Allah SWT) adalah kendaraannya.”
Hati yang seperti ini, oleh hadits Rasulullah SAW, seperti tersebut tadi, dinyatakan sebagai hati yang hitam legam, tidak lagi mengenal al ma’ruf sebagai ma’ruf dan tidak lagi mengingkari yang munkar. Ia hanya mengikuti hawa nafsunya.
3. Al-Qalbu Al-Maridh (hati yang sakit)
Pada dasarnya, hati yang sakit adalah hati yang masih memiliki kehidupan, hanya saja ia terhinggapi penyakit. Parah atau tidaknya kondisi hati ini bergantung kepada tingkat penyakit yang menghinggapinya.
Hati yang seperti ini oleh Al Qur’an diistilahkan dengan fi qulubihim maradhun (di dalam hatinya terdapat penyakit), sebagaimana disebut dalam QS Al Baqarah (2): 10, QS Al Maidah (5): 52, QS Al Anfal (8): 49 dan sebagainya.
Terkait dengan hal ini, Ibnul Qayyim menjelaskan, “Pada dasarnya, di dalam hati yang sakit ini terdapat cinta kepada Allah SWT dan keimanan kepada-Nya, dan hal ini merupakan daya hidupnya. Namun, di dalam hati ini pun terdapat kecintaan terhadap segala bentuk syahwat dan ambisi untuk memperolehnya, padahal hal ini merupakan rahasia kehancuran dan kebinasaannya.”
Hati yang Sehat, Sumber Fatwa
Hadits Wabishah bin Ma’bad ini, yang secara lahiriah berisi perintah untuk berfatwa kepada hati, oleh para pakar hadits ditujukan kepada mereka yang memiliki al qalbu al salim, hati yang sehat. Bukan untuk mereka yang hatinya keras atau mati. Juga bukan untuk mereka yang hatinya sakit.
Hati yang sehat, setelah bimbingan dan taufik Allah SWT, merupakan buah dari usaha yang sungguh-sungguh dari manusia untuk mendidik, mentarbiyah dan melatih dirinya dengan berbagai bentuk penghambaan dan taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT melalui pelaksanaan segala fardhu yang ditetapkan oleh Allah SWT, ataupun dengan meninggalkan segala yang haram yang dicegah oleh Nya.
Upaya-upaya itu terus ditingkatkan dengan cara menambahkan pelaksanaan yang fardhu tersebut dengan melaksanakan yang sunnat dan meninggalkannya tanpa henti, dan terus ditambahkan dengan upaya-upaya untuk memerangi segala syubhat dan syahwat yang selalu terpampang dihadapannya.
Juga tidak lupa dengan doa penuh kesungguhan, memohon kepada Allah SWT, sebagaimana yang dulu dipanjatkan Nabi Muhammad SAW, “…Ya Allah, berikanlah kepada hati kami ketaqwaannya, dan sucikan hati kami, Engkau adalah Dzat yang mensucikan hati, Engkau adalah Pemilik dan Tuan semua hati” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, no. 4899).
0 komentar:
Posting Komentar