Menamai anak dengan nama yang baik dan islami sangatlah penting. Nama-nama yang berbau kejelekan, ketidakbaikan dan kemudharatan harus dihindarkan. Seorang anak yang dinamai dengan tidak baik tentunya sangat mengganggu secara psikologis jika anak tersebut tumbuh dewasa. Anak bisa malu dan rendah diri jika namanya buruk dan teman-temannya memanggilnya dengan nama yang buruk, sebagai contoh si letoy, si jahanam.
Untuk itu Nabi memerintahkan agar para orang tua memberi nama anaknya dengan nama yang baik:
Seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan bertanya, ”Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu).” (HR. Aththusi).
Nabi pernah merubah nama yang artinya buruk Barrah —> menjadi Zainab:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Semula nama Zainab adalah Barrah. Orang mengatakan, ia membersihkan dirinya. Lalu Rasulullah SAW memberinya nama Zainab.” (Shahih Muslim No.3990)
Hendaknya memberi nama (tasmiyah) dilakukan pada saat aqiqah, yaitu menyembelih 2 ekor kambing untuk anak lelaki dan seekor kambing untuk anak perempuan:
“Setiap anak tergadai dengan (tebusan) aqiqahnya (seekor atau dua ekor kambing) yang disembelih pada umur tujuh hari dan dicukur rambut kepalanya (sebagian atau seluruhnya) dan diberi nama.” (HR. An-Nasaa’i)
Nabi melarang ummatnya untuk memberi nama dengan gelarnya: Abu Qosim,
Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Seseorang menyapa temannya di Baqi: Hai Abul Qasim! Rasulullah SAW berpaling kepada si penyapa. Orang itu segera berkata: Ya Rasulullah SAW, aku tidak bermaksud memanggilmu. Yang kupanggil adalah si Fulan. Rasulullah SAW bersabda: Kalian boleh memberi nama dengan namaku, tapi jangan memberikan julukan dengan julukanku.” (Shahih Muslim No.3974)
Sebaliknya, Nabi menganjurkan agar kita memberi nama anak kita dengan nama Nabi, yaitu: Muhammad:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Abul Qasim, Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah nama dengan namaku, tetapi jangan memberikan julukan dengan julukanku.” (Shahih Muslim No.3981)
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Seseorang di antara kami mempunyai anak. Ia menamainya dengan nama Muhammad. Orang-orang berkata kepadanya: Kami tidak akan membiarkanmu membdri nama Rasulullah SAW. Orang itu berangkat membawa anaknya yang ia gendong di atas punggungnya untuk menemui Rasulullah SAW Setelah sampai di hadapan Rasulullah SAW ia berkata: Ya Rasulullah! Anakku ini lahir lalu aku memberinya nama Muhammad. Tetapi, orang-orang berkata kepadaku: Kami tidak akan membiarkanmu memberi nama dengan nama Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda: Kalian boleh memberikan nama dengan namaku, tetapi jangan memberi julukan dengan julukanku. Karena, akulah Qasim, aku membagi di antara kalian. “(Shahih Muslim No.3976)
Haram menamakan anak dengan nama Allah seperti Malikul Amlak dan Malikul Mulk (Raja Segala Raja) karena itu adalah nama Allah. Jangan memberi nama anak dengan nama-nama Allah:
Dari Ibnu Umar ra, Nabi bersabda: “Nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah (Hamba Allah) dan Abdurrahman (Hamba Yang Maha Pengasih) ” [HR Muslim]
Dari Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Nama yang paling jelek di sisi Allah adalah seorang yang bernama Malikul Muluk. Ibnu Abu Syaibah menambahkan dalam riwayatnya: Tidak ada malik (raja) kecuali Allah Taala..” (Shahih Muslim No.3993)
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna” [Al A’raaf:180]
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik)” [Thaahaa:8]
Sebaliknya Nabi memberi nama-nama Nabi seperti Ibrahim kepada seorang anak.
Dari Abu Musa ra., ia berkata:
“Anakku lahir, lalu aku membawanya kepada Nabi SAW, beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya (mengolesi mulutnya) dengan kurma.” (Shahih Muslim No.3997)
Sebaiknya nama adalah Abdul (Hamba) dengan Asma’ul Husna (99 Nama Allah yang baik) seperti Abdullah (Hamba Allah), Abdurrahman (Hamba Maha Pengasih), Abdul Hakim, Abdul Hadi, dan sebagainya:
Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Asma binti Abu Bakar ra. keluar pada waktu hijrah saat ia sedang mengandung Abdullah bin Zubair. Ketika sampai di Quba’, ia melahirkan Abdullah di Quba’. Setelah melahirkan, ia keluar menemui Rasulullah SAW agar beliau mentahnik si bayi. Rasulullah SAW mengambil si bayi darinya dan beliau meletakkannya di pangkuan beliau. Kemudian beliau meminta kurma. Aisyah ra. berkata: Kami harus mencari sebentar sebelum mendapatkannya. Beliau mengunyah kurma itu lalu memberikannya ke mulut bayi sehingga yang pertama-tama masuk ke perutnya adalah kunyahan Rasulullah SAW Selanjutnya Asma berkata: Kemudian Rasulullah SAW mengusap bayi, mendoakan dan memberinya nama Abdullah. Tatkala anak itu berumur tujuh atau delapan tahun, ia datang untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW. Ayahnya, Zubair yang memerintahkan demikian. Rasulullah SAW tersenyum saat melihat anak itu menghadap beliau. Kemudian ia membaiat beliau.” (Shahih Muslim No.3998)
Jika memakai nama seperti itu, hendaknya jika kita menyingkat nama anak, panggilah dengan Abdul (Hamba). Bukan memanggilnya dengan nama Allah seperti Hadi, ‘Alim, dan sebagainya. Jika tidak, panggil namanya dengan lengkap seperti Abdul Hadi.
Dari Sahal bin Saad ra., ia berkata:
“Al-Mundzir bin Abu Usaid, ketika baru dilahirkan, dibawa menghadap Rasulullah SAW. Beliau meletakkan di pangkuannya sedangkan Abu Usaid duduk. Lalu perhatian Nabi saw. tercurah pada sesuatu di depan beliau. Maka Abu Usaid menyuruh seseorang mengangkat anaknya dari atas paha Rasulullah SAW dan memindahkannya. Ketika Rasulullah SAW tersadar, beliau bertanya: Mana anak itu? Abu Usaid menjawab: Kami memindahkannya, ya Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. bertanya: Siapa namanya? Abu Usaid menjawab: Fulan, ya Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. bersabda: Tidak, tetapi namanya adalah Mundzir. Jadi, pada hari itu, Rasulullah SAW. memberinya nama Mundzir.” (Shahih Muslim No.4002)
Meski ada yang berkata bahwa memberi nama bisa dalam bahasa apa saja bukan hanya Arab, namun dalam bahasa Arab lebih baik karena bahasa Arab merupakan bahasa umum yang dipakai ummat Islam. Artinya bisa dipahami secara standar oleh siapa saja. Misalnya kalau Muhammad kita tahu artinya terpuji, atau Abdullah adalah Hamba Allah.
Tapi kalau bahasa lain, meski dalam bahasa itu artinya bagus, tapi menurut bahasa lainnya bisa saja buruk. Sebagai contoh kata “Tai” dari Cina artinya besar. Dalam bahasa Indonesia “Tai” artinya kotoran dan bisa ditertawakan orang.
Memberikan Nama yang Baik
Imam Ibnu Qoyim menyebutkan di zamannya, “Jarang kau dapati nama yang buruk kecuali melekat pada orang yang buruk pula. Dan Allah dengan hikmah yang terkandung dalam qadha dan qadarnya memberikan ilham kepada jiwa untuk menetapkan nama sesuai yang punya.” Orang yang memiliki nama yang baik, kadang malu jika mengerjakan suatu keburukan. Dia berusaha agar dapat mengerjakan kebaikan sesuai dengan namanya.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa dosa-dosa dapat diampuni dengan taubat, tapi ada dosa yang sulit untuk dihilangkan. Yaitu dosa memiliki nama yang jelek. Misalkan seorang kafir yang masuk Islam kemudian diberikan nama hijrah, akan tetapi nama saat dia kafir masih tetap tertulis di surat-surat resmi seperti paspor, ijasah, dll.
Memberikan Contoh yang Baik
Contoh pengaruh orang tua terhadap anak:
Abdullah bin Zubair merupakan putra dari Zubair bin Awam. Dalam Syiar Alamin Nubala diriwayatkan dari Urwah bahwa telah masuk Islam Zubair bin Awam, ketika itu beliau berumur 8 tahun. Dan tersebar isu bahwa Rasulullah sudah dibunuh di Makah, maka Az Zubair keluar sedangkan umurnya baru 12 tahun, di tangannya ada pedang. Orang yang melihatnya takjub, beliau berjalan sampai kehadapan Rasulullah. Ditanya Rasulullah kenapa Zubair bin Awam membawa pedang seperti itu, dijawab bahwa Az Zubair ingin membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah sebagaimana tersebar dalam berita bohong yang dia dengar.
Kisah Abu Ali Fudhail bin Iyadh dengan anaknya yang terkenal dengan zuhud dan rasa takutnya. Disebutkan bahwa beliau membaca surat Al Haqqah dalam shalat shubuh, saat sampai ayat “Tangkaplah dia lalu belenggulah lehernya ke tangannya” (Al Haqqah : 30) maka beliau menangis. Kemudian saat shalat Maghrib beliau menjadi imam dan putranya berada di sampingnya. Kemudian membaca surat At Takatsur, saat sampai ayat “Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu)” (At Takatsur : 7-8). Maka Ali bin Fudhail pun menangis sampai seperti pingsan, sedangkan Fudhail bin Iyadh juga ikut menangis dan terbata-bata dalam membaca ayat.
Maka hendaknya orang tua memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya baik dalam urusan dunia atau akhirat. Misal ibu segera mengerjakan shalat jika adzan sudah berkumandang walaupun baru mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Memberikan pendidikan agama sesuai tingkat pemahaman anak. Mengajarkan rukun Islam, rukun Iman, dll. Membiasakan anak-anak untuk menghafal Al Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam.
0 komentar:
Posting Komentar