07 November 2011

Makna Idul Adha

Umat Islam mempunyai dua hari hari raya tahunan yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kedua hari raya ini tidak ada perbedaan dari segi kaiyfiyat (tata cara) sholatnya, yaitu dilakukan dengan cara berjama’ah, jumlah roka’atnya terdiri dari dua roka’at , roka’at pertama diawali dengan tujuh kali takbil sambil mengangkat tangan sebelum membaca Alfatihah dan roka’at kedua lima kali takbir sambil mengangkat tangan juga sebelum membaca Alfatihah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ : اَنَّ النَّبِيَّ (ص) كَبَّرَ فِيْ عِيْدٍ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ تَكْبِيْرَةً سَبْعًا فِى الْاُوْلَى وَخَمْسًا فِى الْاَخِرَةِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا. قَالَ اَبِيْ وَاَنَا اَذْهَبُ اِلَى هَذَا -- احم

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bertakbir dalam (sholat) ‘Id 12 takbir, yaitu : 7 di roka’at pertama dan 5 di roka’at kedua, Nabi SAW tidak sholat sebelumnya dan sesudahnya. Menurut ayahku (imam Ahmad) aku berpegang dengan hadits ini (HR: Ahmad)

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ تَحِرِّيْهِ لِلاتِّبَاعِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ

Adalah Ibnu Umar , yang demikian kuat perhatiannya untuk mencontoh Nabi, ia mengangkat kedua tangannya dalam setiap kali takbir (Subulussalam : 2 : 69)

Perlu diketahui bahwa pada roka’at kedua 5 kali takbir itu terhitung dari mulai takbir bangkit dari sujud, karena yang disebut satu roka’at itu adalah dari mulai takbir sampai sujud, oleh karena itu ketika bangkit dari sujud itu adalah memulai takbir kedua.

‘Idul Adha bukan Lebaran Haji !

Ketika ‘Idul Adha tiba, banyak orang-orang menyebutnya dengan sebutan Lebaran Haji, padahal ‘Idul Adha itu bukan lebaran haji, tapi hari raya seluruh umat islam baik yang sudah haji atau yang belum haji. Dan pada hari raya ‘Idul Adha, kita tidak sedang merayakan orang yang sudah haji atau yang sedang h`ji. Rosulallah SAW bersabda :

اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْاَضْحَى يَوْمَ يُضَحِى النَّاسُ

‘Idul Fithri itu hari orang-orang berbuka (shaum) dan ‘Idul Adha itu hari orang-orang menyembelih (hewan qurban). (HR : Tirmidzi dari Aisyah ra)

Jadi ‘Idul Adha itu adalah hari dimana orang-orang melakukan qurban bukan merayakan haji.

Sejauh penelurusan penulis tentang hadits-hadits ‘Idul Adha, ternyata tidak ditemukan satu haditspun atau ucapan shohabat bahkan qaul ulama yang menyebutkan ‘Idul Adha itu Lebaran Haji atau ‘Idul Haji. Dan memang kalau kita telusuri lagi mengenai ‘Idul Adha, bahwa ‘Idul Adha itu tidak ada hubungannya dengan ibadah haji walaupun sama-sama dilakukan pada bulan Dzulhijjah, buktinya:
  1. Pada tanggal 10 Dzulhijjah orang yang sedang melaksanakan haji tidak melaksanakan sholat ‘Id, tapi mereka sedang melaksanakan Jumroh ‘Aqobah dan Thowaf Ifadloh.
  2. Sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah orang yang haji sedang wukuf di Arofah dan tidak melaksanakan shaum Arofah, sementara kita yang tidak haji pada tanggal tersebut disunnahkan melaksanakan shaum.
  3. Adha itu artinya menyembelih, maksudnya menyembelih hewan qurban, dalam ibadah haji ada juga pelaksanaan menyembelih hewah yang disebut dengan Hadyu, tapi walaupun demikian tetap saja berbeda dengan sembelihan yang dilakukan oleh orang yang tidak sedang haji, bedanya adalah sembelihan orang yang sedang haji tidak boleh disembarang tempat, tapi harus dilakukan di Manhar (tempat Penyembelihan hewan di Mina khusus bagi orang yang sedang haji) (QS : Albaqoroh : 196), oleh karena itu hewan sembelihan bagi orang yang sedang haji tidak bisa disembilih di Indonesia atau dinegara lainnya dengan alasan di negara tersebut lebih banyak membutuhkan dari pada di Arab. Sedangkan hewan qurban bagi orang yang tidak sedang melaksanakan haji bisa disembelih dimana saja.
Idul Adha dengan mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil juga merupakan tanda kemenangan bagi umat Islam, yakni kemenangan mempertahankan keimanan dan keislaman serta kepatuhan kepada Allah SWT.

Bagi sebagian orang awam terkesan bahwa Idul Adha adalah hanyalah lebarannya ‘orang berduit’ saja. Perayaannya yang dikaitkan dengan ibadah haji dan qurban bagi orang yang mampu menimbulkan bias dalam penafsiran makna yang sesungguhnya untuk Idul Adha tersebut. Karena masyarakat Indonesia bersifat kolektifistik sehingga hal ini menyebabkan mereka sangat gemar menggunakan simbol-simbol lambang untuk menafsirkan suatu peristiwa. Penciptaan simbol-simbol yang akhirnya akan menimbulkan stereotipe ini biasanya mengakar erat dalam pola pandang dan berpikir mereka. Kesalahan penafsiran makna inilah yang sangat ditakutkan akan menciptakan bencana dan kerugian bagi umat manusia selanjutnya. Oleh karenanya tidaklah salah bila kita berupaya kembali menggali makna nilai-nilai sebenarnya yang ada dalam Idul Qurban tersebut dikaitkan dengan kondisi aktual saat ini.

Terlepas dari itu semua, sepertinya ada kesan mendalam yang disisipkan-Nya dalam kejadian-kejadian peristiwa bencana alam di atas, yaitu mau beramal shalih dan berqurban. Hari raya Qurban itu sendiri adalah untuk memperingati Nabi Ibrahim As yang menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Dalam kilasan peristiwa tersebut seolah-olah kita diingatkan untuk mau bersikap seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan harta satu-satunya, yakni putranya sendiri Ismail kepada Allah SWT, meski di akhir kisahnya ia digantikan dengan seekor libas gemuk dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Mencintai Allah SWT itulah inti dari rentetan cobaan di atas. Konsepsi dasarnya adalah mencintai Allah SWT yang diwujudkan dengan mencintai sesama manusia. Makna berkurban tidaklah harus dengan membeli hewan ternak saja, namun lebih luas dalam segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, pemikiran dan lain-lain. Bagi para orang kaya berkurban mungkin berarti membagi harta, bagi kaum cendikia membagi sumbang saran dan pemikiran, bagi pemilik kekuasaan adalah perbaikan kebijakan bagi kemaslahatan umat, sedang bagi yang emosional adalah kesabaran. Maka jelas miskin di sini dalam arti luas, bukan miskin harta saja, tetapi lebih pada miskin hati, perasaan, kepekaan dan lain-lain.

Bagi umat Islam yang berkecukupan dan mampu untuk melaksanakan kurban adalah hukumnya wajib. Melakukan penyembelihan di waktu pagi pada hari raya Idul Adha dan harus dihadiri atau disaksikan semua umat memiliki arti tersendiri. Seolah-olah melalui Idul Qurban dihancurkan hubungan perlambang simbol antara dua golongan kaya dengan si miskin. Dalam kondisi tersebut mereka akan dapat bertatap muka satu sama dengan yang lain. Berhubungan hanya melalui sebuah kotak amal bagi orang kaya dan mi instan atau nasi bungkus bagi orang miskin tidak terjadi lagi. Utamanya dengan adanya ruang bertemu dan bertatap muka tersebut akan muncul rasa cinta dan kasih sayang antara dua golongan tersebut. Saling percaya dan berbagi rasa akan semakin mengikis kearoganan, keapatisan yang tumbuh selama ini dalam ruang batin mereka.

Wallahu'alam Bishawab

Dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Share