04 April 2012

Juru Dakwah Yang Tidak Gentar

Kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menyebabkan bangkitnya kemarahan orang-orang baduwi di sekitar Madinah untuk mencemooh dan mengungkit-ngungkit dendam lama yang sebelumnya sudah terpendam. Namun tanpa curiga sedikit pun Rasulullah SAW memberikan sambutan baik atas kedatangan sekelompok pedagang Arab yang menyatakan keinginan sukunya yang mendengar dan memeluk Islam. Untuk itu mereka meminta para juru dakwah dikirimkan ke kampung suku itu. Rasulullah SAW menyetujui. Enam orang sahabat yang alim diutus untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka berangkat bersama para pedagang Arab itu.

Di kampung Ar-Raji, dalam wilayah kekuasaan suku Huzail, para pedagang itu tiba-tiba melakukan pengurangan atas keenam sahabat Rasulullah SAW, sambil berseru meminta bantuan kaum Huzail. Keenam aktivis dengan cepat menghunus senjata masing-masing dan siap mengadakan perlawanan, setelah insaf bahwa mereka tengah dijebak. Para pedagang yang licik tadi berteriak, "Sabar saudara-saudara. Kami tidak bermaksud membunuh atau menganiayai kalian. Kami cuma mau menangkap kalian untuk kami jual ke Makkah sebagai budak belian. Keenam sahabat Rasulullah SAW itu tahu nasib mereka bahkan lebih buruk dari terbunuh dalam pertarungan tidak berimbang itu. Karena mereka segera bertakbir seraya menyerang dengan tangkas.

Terjadilah pertempuran seru antara enam da'i berhati tulus dengan orang-orang yang beringas yang jumlahnya jauh lebih besar. Pedang mereka ternyata cukup tajam. Beberapa orang lawan telah menjadi korban. Akhirnya tiga sahabat tertusuk musuh dan langsung gugur. Seorang lagi dilempari batu secara massal sampai tewas. Sisanya tinggal dua orang; Zaid bin Addutsunah dan Khusaib bin Adi.

Apalah daya dua orang pejuang, betapa pun lincahnya perlawanan mereka, menghadapi begitu banyak musuh yang tangguh? Selang beberapa saat sesudah jatuhnya empat sahabat tadi, kedua orang itu dapat dilumpuhkan dari belenggu. Lalu mereka diangkut menuju pasar budak di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, adalah majikan Bilal dan Amir bin Fuhairah. Umayyah terkenal sangat kejam kepada budak-budaknya. Bilal pernah disalib di atas pasir dan dijemur di tengah terik matahari dengan badan ditindihi batu. Untung Bilal ditebus oleh Saiyidina Abu Bakar Assidiq dan dimerdekakan. Orang Habsyi ini kemudian terkenal sebagai sahabat dekat Rasulullah SAW dan diangkat sebagai muazin, tukang azan.

Dalam perang Badar, Umayyah bin Khalaf berhadap-hadapan dengan bekas budaknya itu. Dan Bilal berhasil membunuhnya dalam pertempuran yang sengit satu lawan satu. Adapun Khubaib bin Adi diambil oleh Uqbah bin Al-Harits dengan tujuan yang sama seperti maksud Shafwan membeli Zaid bin Abdutsunah. Yaitu untuk membalas dendam kebencian mereka kepada umat Islam.

Maka oleh orang-orang Quraisy, Zaid diseret menuju Tan'im, salah satu tempat untuk miqat umrah. Di sanalah Zaid akan menjalani hukuman pancung, buatkan sesuatu yang ia tidak pernah melakukannya, yaitu terbunuhnya Umayyah bin Khalaf, ayahanda Shafwan. Menjelang algojo menebaskan parangnya, pemimpin kaum Musyrikin Abu Sufyan bertanya garang, "Zaid bedebah, apakah engkau senang seandainya di tempatmu ini Muhammad, sedangkan engkau hidup tenteram bersama keluargamu di rumah?"

"Janganlah begitu," bantah Zaid dengan keras. "Dalam kondisi begini pun aku tidak rela Rasulullah SAW tertusuk duri kecil di rumahnya." Abu Sufyan menjadi marah. "Bereskan," teriaknya kepada algojo. Dalam sekejap, sebilah parang mengkilat di tengah terik matahari dan darah segar menyembur keluar. Zaid bin Abdutsunah gugur setelah kepalanya dipotong, menambah jumlah penghuni surga dengan seorang syuhada' lagi. Di hati Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy lainnya timbul keheranan akan kesetiaan para sahabat kepada Muhammad SAW. Sampai tergumam di bibir Abu Sufyan ucapan kagum, "Aku tidak pernah menemukan seorang yang begitu dicintai para sahabat seperti Muhammad."

Setelah selesai pemancungan Zaid, datang pula rombongan lain yang menyeret Khubaib bin Adi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di seluruh Tanah Arab, kepada orang yang bersalah dijatuhi qisas mati diberikan hak untuk menyampaikan permintaan terakhir. Demikian juga Khubaib. Juru dakwah ini meminta izin untuk shalat sunnah dua rakaat. Permohonan tersebut dikabulkan. Dengan khusyuk dan tenang, seolah-olah dalam suasana aman tenteram tanpa ancaman kematian, Khubaib melaksanakan ibadahnya sampai selesai. Setelah salam dan mengangkat dua tangan, ia berkata, "Demi Allah. Andai kata bukan karena takut disangka aku gentar menghadapi maut, maka shalatku akan kulakukan lebih panjang."

Khubaib disalib dahulu lalu dihabisi seperti yang diterapkan kepada Zaid bin Abdutsunah. Jasadnya telah lebur sebagaimana jenazah lima sahabatnya yang lain. Namun semangat dakwah mereka yang dilandasi keikhlasan untuk menyebarkan ajaran kebenaran takkan pernah padam dari permukaan bumi. Semangat itu terus bergema sehingga makin banyak jumlah kader yang dengan kekuatan sendiri, atas biaya pribadi, menyelusup keluar-masuk pedalaman berbatu-batu karang atau hutan-hutan belantara untuk menyampaikan firman Allah SWT menuju keselamatan dunia dan akhirat.

0 komentar:

Posting Komentar

Share