Minggu, 06 Mei 2018

Taqlid Itu Bukan Ilmu

Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”,
Ngaji itu sama ustd sunnah, awas dia hizbiyyun awas dia harokiyyun, dan masih banyak kata kata yang tidak pantas keluar dari lisan seorang yang katanya ber ilmu.
Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai Allah?

imam Al Ghozali rahimahullah berkata:

التقليد هو قبول قول ٍ بلا حجة، وليس ذلك طريقاً إلى العلم لافي الأصول ولافي الفروع

"Taqlid adalah menerima sebuah pendapat tanpa mengetahui hujjahnya. Taqlid bukanlah jalan menuju ilmu baik dalam masalah pokok maupun dalam masalah parsial". (Al Mustahsfa 2/387)

Al Hafidz ibnu Abdil Barr berkata:

قال أهل العلم والنظر: حد العلم: التَّبيُّن وإدراك المعلوم على ماهو به، فمن بان له الشئ فقد علمه.، والمقلِّد لا علم له، ولم يختلفوا في ذلك

"Para ulama berkata: definisi ilmu adalah mencari kejelasan dan mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya. Maka siapa yang telah jelas sesuatu kepadanya berarti ia telah berilmu tentangnya. Jadi orang yang hanya taqlid tidak berilmu. Tidak ada perselisihan dalam hal ini."
(Jaami bayanil ilmi 2/117)

Allah Ta'ala,  berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَآ أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ  ۗ  أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab, (Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya). Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 170)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Ayat-ayat ini merupakan dalil terkuat tentang batil dan jeleknya sikap taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang bertaqlid tidaklah mereka beramal dalam perkara agama ini kecuali hanya bertaqlid dengan pendapat para pendahulu yang mereka warisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang da’i yang mengajak mereka untuk keluar dari kesesatan, dan kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini serta mereka warisi dari para pendahulu mereka itu, tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan “katanya dan katanya”-, mereka mengatakan pernyataan yang sama dengan pernyataan orang-orang kafir yang hidup di masa para Rasul.

Al Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, ”Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang Kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan ,” Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan pendapat tersebut).

Al Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka telitilah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”

Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah ? dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu baik ketika saya masih hidup ataupun sudah meninggal dunia."

Al Imam Ahmad mengatakan, “Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada Malik atau Asy Syafi’i, atau Al Auza’i, atau (Sufyan) Ats Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”

Al-‘Allamah Al-Ma’shumi berkata: “Bahwa termasuk pergeseran yang terjadi dalam agama adalah adanya prinsip dan kewajiban bahwasanya seorang muslim harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan prinsip bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis di dalam memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah ? dari hal itu.”

Wallahu a'lam

#AkhlaqMulia
#copas_from_grup_WA

0 komentar:

Posting Komentar

Share